Bulan sabit itu seperti menuruni anak tangga. Perlahan-lahan bumi gelap, bagai kamar yang baru terlepas dari cahaya lampu.
Sesuai dengan pesan Mbah Surip tiga malam lalu, yakni ketika bulan di tanggal tua, Surahmat menyusuri jalanan yang sudah tidak terang lagi seperti satu jam sebelumnya. Kini, cahaya bulan benar-benar telah menghilang dari pangkuan bumi. Namun ia seperti berjalan di bawah cahaya lampu saja, kakinya seolah sudah hafal jalan yang baru tadi siang ia jalani untuk mencari kuburan korban tabrakan. Saat menyadari langkahnya sudah semakin jauh dari asrama pondok, ia kembali merogoh kantongnya, memastikan selembar daun sirih yang diambilnya di belakang dhalem kiyai Dahlan, tidak kemana-mana.
Ia menutup hidung dengan tangan kirinya. Bau busuk mayat yang menyembul keluar dari gundukan tanah merah yang kini berada tak jauh di depannya seakan mengaduk seluruh isi perutnya untuk segera di muntahkan. Kini, segala keberaniannya yang dikumpulkan sejak tadi siang perlahan-lahan runtuh melihat ulat satu-persatu berloncatan dan menjelma ular raksasa yang siap menerkam dirinya. Namun, saat ingin menarik langkah seribu, ia kembali mengingat pesan Mbah Surip dalam kebimbangannya; bahwa semua itu adalah godaan yang tidak lebih untuk menakut-nakuti para penyepi saja.
“Jika kamu bertahan sampai godaan itu pergi, barulah seorang kakek berjubah putih akan datang dan siap mengabulkan satu permintaanmu,” Begitulah Mbah Surip, panjang lebar menjelaskannya. Mengingat kalimat itu, persaan takut yang mencekamnya kembali menjadi sebuah harapan yang sudah membuat segala usahanya sebelumnya sia-sia untuk meraih harapan itu. Ia tahu, tidak gampang untuk membuktikan pada tiga teman asramanya yang usil, kalau ia bisa mendapatkan hati putri Kiyai Dahlan yang diam-diam mereka juga dambakan seperti seluruh pindhare pondok mendambakannya.
***
Di telinga santri-santri Muallimien (putra) nama Ning Jannatun Naimah bukan sesuatu yang asing lagi. Bahkan di kalangan lora-lora pondok, topik mengenai putri sulung Kyai Dahlan ini tidak kalah hebohnya dengan berita kenaikan BBM yang dijadikan buah bibir oleh ibu-ibu di pasar-pasar, atau di kedai tempat tukang ojek menyeruput kopi susu.
Kalau dari segi penampilan tidak sedikit di antara santriwati yang mempunyai wajah sepadan. Bahkan ada yang lebih cantik dari Ning Jejen—panggilan sehari-hari dari anak orang terhormat dan dihormati itu. Namun, bakat dan kemampuannya membaca Al-Quran dengan mujawwadah itulah penyebab para santri putra yang diam-diam mengaguminya seakan-akan mendengarkan eufoni samawi dan selalu terbawa lamunan siang-malam.
Barangkali itulah pandangan hidup para pindhere dalam mencari tipe wanita yang ideal. Mereka tidak terlalu mementingkan wajah dalam menilai kecantikan perempuan, tetapi bakat dan kemampuannyalah yang lebih diutamakan.
Setiap kali pondok membuka acara secara resmi dengan Ning Jejen sebagai qariah-nya, santri putra tidak usah digerakkan ke barisan depan. Karena bukan cuma tempe penyet di dapur yang sering kali jadi rebutan, barisan depan pun akan jadi rebutan. Bahkan ada yang sudah menunggu satu jam sebelum acara dimulai.
Belum cukup itu. Di kalangan muallimat (putri) ia dikenal sebagai putri kiai yang paling santun dan sederhana dalam kesehariannya dibanding kebanyakan putri-putri kiai yang lainnya. Dalam masalah berdandan misalnya. Ia memasang bedak seperlunya. Namun tidak sedikit di antara teman-temannya yang selalu mengiranya memakai bedak impor, karena wajahnya selalu terlihat segar seperti habis mandi walau sudah seharian beraktivitas.
***
Malam sudah semakin buta. Tak ada suara-suara yang terdengar kecuali bunyi blarak yang saling beradu kerena di hempas angin malam. Lolong anjing dari kejauhan semakin membuat suasana malam di kuburan mencekam. Namun, hati Surahmat tetap tak bergeming. Ia tenggelam dalam mantra yang kata Mbah Surip akan mengubah pandangan Ning Jejen sepertri melihat ketampanan nabi Yusuf.
Saat putaran tasbih yang ke seribu kalinya, ia menghentikan gerakan jarinya. Mulutnya yang sedari tadi komat-kamit berhenti sejenak. Ditiupnya berkali-kali daun sirih bertuliskan namanya yang memakai huruf-huruf arab dan nama Ning Jejen yang bertulis arab tetapi terbalik. Entah apa maksudnya? Ia sendiri juga tidak begitu paham bahasa dukun. Tetapi, kata Mbah Surip hati Ning Jejen akan terbalik juga.
Begitu tidak satu pun syarat ada yang tertinggal, ia memasukkan selambar daun sirih itu ke salah satu lubang kuburan itu. Dalam menunggu kedatangan kakek tua itu, ia kembali memejamkan matanya. Tak lama kemudian lamat-lamat suara muadzin terdengar dari kejauhan. Ia yakin suara itu berasal dari masjid di asramanya. Namun, ia tetap tidak akan pergi sebelum yang ditungguinya datang. Dan sampai kapan pun kakek itu tidak akan datang, karena sebentar lagi malam akan mencemput pagi. Dan ia harus masuk sekolah
***
Di mata Surahmat, Ning Jejen tidak lebih dari perempuan biasa. Kalau ia mau, tidak perlu berputar tujuh keliling di kampungnya untuk melingkarkan cincin di jari perempuan sepertinya. Bahkan, saat teman-temannya menjulukinya si Buruk Rupa yang merindukan Putri Salju, sama sekali ia tidak sakit hati. Karena, ia menyadari diantara teman-temannya dirinyalah yang berkulit paling legam.
Dan pada suatu petang itulah niatnya terbit untuk membuktikan bahwa dirinya tidak hanya bisa jadi bahan olok-olokan, tetapi juga bisa mengenalkan diri pada Ning Jejen, bahkan ia bisa jadi pacar idola seluruh santri putra pondok itu. Subuh itu, karena ada masalah keluarga yang harus diselesaikan Surahmat memberanikan diri menemui Kiai Dahlan di dhalemnya. Begitulah pola pendidikan mereka. Selain tugas mentransfer ilmu-ilmu ke otak santri, kiai-kiai juga menjadi tumpuan masalah yang menimpa santri-santrinya. Namun, saat Surahmat keluar dari Dhalem kyai, tiga orang teman-temannya yang melihat wajahnya murung memberi kesimpulan yang membuatnya naik pitam.
“Jangan murung gitu dong Mat! masih banyak ko’ wanita lain yang menunggu lamaranmu,” Mendengar kalimat itu, kontan darah di punggungya naik ke ubun-ubunya. Ia menatap tiga pemuda itu seraya menatap langit. Sejak itulah matanya selalu nyalang dan berapi-api setiap kali menatap biru awan. Ingin rasanya memetik bintang dan melemparkannya pada mereka yang usil.
***
Janji hanyalah janji. Setelah berbulan-bulan lamanya ia tidak punya cukup banyak cara untuk membuktikan janji dalam hatinya. Ia memang tidak seperti teman-temannya yang mempunyai ketampanan dan IQ tinggi untuk membuat namanya populer di kalangan Majlis Kiai dan di kalangan pondok sebesar Al-Hakimiyah itu. Sudah berkali-kali ia mencoba mengasah kemampuannya demi namanya ingin disebutkan saat hiwar jum’at pagi. Karena yang di sebutkan mereka yang berprestasi dan selalu menang lomba baik regional maupun nasional, akhirnya harapan tinggallah harapan saja. Berakali-kali lomba dalam pondok diikutinya, namun berkali-kali pula ia selalu menelan kekalahan.
Dan saat santri yang dapat menghafal seribu bait Alfiyah juga di sebut waktu hiwar jum’at, Surahmat juga tidak mau ketinggalan dalam audisi yang sebenarnya bukan Ning Jejen sebagai hadiahnya. Tapi bukan rahasia umum lagi. Olok-olok dan istilah seperti itu di kalangan para santri muallimien, untuk mempompa semangat persaingan. Bahkan saat amil di dhalem Kiai Dahlan saja terkadang ada yang nyeletuk dengan kalimat-kalimat yang menggelikan telinga. Ada yang bilang “Kalau mau senyum Ning Jejen, ba’dah subuh kita bersih-bersih di dhalem”, Siapa yang sering sowan ke dhalem, maka besar pula kesempatan memiliki istri secantik Siti Aisyah, istri tercantik nabi itu. “Hs… hs… diam! ntar ilmunya gak barokah.” Tegor seorang santri yang Muthi’ di sela gurauan mereka.
***
Meski janjinya itu tidak ditempel di papan pengumuman santri. Namun sebagai lelaki Surahmat malu pada hati kecilnya yang tidak berdaya menepati janjinya sendiri. Oleh keadaan itu, semuanya menjadi tak baik. Ia lebih sering menyendiri bahkan ia tidak mau bergaul lagi dengan teman-temannya. Saat Ia mendengar orang-orang sekitarnya tertawa lepas, ia selalu merasa tertawaan itu adalah penghinaan baginya. Semenjak itulah hidupnya semakin tidak jelas di pesantren. Ia putus asa, bahkan tidak mau masuk kelas. Kini setiap kali orang bercerita tentang Ning Jejen ia merasa seolah-olah mereka hendak melepas anak panah lebih dulu dan merebut buruannya itu.
Maka pada saat semua santri terlelap di asrama. Ia keluar pondok mencari alamat yang ia dapat dari seorang teman yang mengabarinya lewat telepon dua hari yang lalu. Tidak susah mencari alamat itu, sebab selain dukun sakti mandra guna, rumah Mbah Surip juga dekat tempat wisata terkenal, yaitu Pantai Lombang. Kata orang yang pernah mengunjungi Mbah Surip, mereka tidak perlu menjelaskan maksud kedatangannya. Mbah Surip sudah lebih dulu tahu apa keinginan yang terpendam di hati masing-masing pengunjung.
Begitu sampai di depan rumah yang dijaga oleh tiga ekor anjing, matanya tak berhenti menatap tengkorak yang mirip kepala manusia, tergantung di atas pintu rumahnya. Menurut berita orang yang sempat bertanya pada Mbah surip, itu adalah salah satu dari lima kepala Raja Iblis yang dipenggal buyutnya saat memperebutkan mustika Beto Item. Dari sebuah riwayat lain diceritakan. Setelah menyepi bertahun-tahun lamanya di Gua Elong. Buyutnya seperti mendapat titah dari seorang kakek renta untuk menyelamat ummat manusia dari kekejaman raja iblis berkepala lima. Entah, seperti apa jalur pertarungannya,? Mbah surip tidak menceritakannya. Tetapi warisan mustika itulah yang menjadi sumber kekuatan dukun yang kebal peluru itu. Melihat kesaktiannya, hatinya begitu yakin. Satu dua hari lagi para pindhere di pesantren akan gigit jari melihat keberhasilannya.
***
Saat pelajaran terakhir pun berlangsung ia masih tetap mengantuk. Lehernya tidak kuat mendograk kepalanya hingga berkali-kali membentur tembok di sampingnya. Dari sorot matanya yang merah, nampak bahwa semalaman tidak tidur. Surahmat hanya mendengar Ustad Makmun, pengajar fiqih mengucapakan salam pembukaan dan tidak tahu kapan keluarnya. Sebab sepanjang pelajaran fiqih ia tidak mendengar apa-apa. Bahkan saat santri yang lain sudah bergegas pulang ia tetap tidak bergeming dari tidurnya. Dan alangkah kagetnya pada saat ia terbangun, dengan tidak di sangka-sangka ingatannya baru menyadari kalau dirinya belum shalat dzuhur dan ashar sekaligus. Kira-kira apa yang akan terjadi kalau sampai pengurus pondok menemukannya? Ia sudah dapat menebak apa hukuman bagi santri Al-Hakimiyah yang tidak ikut shalat jam’ah.
Saat kesadarannya belum terkumpul semua, tiba-tiba bagian Qismul Ibadah menjemputnya ke dalam kelas. Belum sempat merapikan buku-bukunya yang berjatuhan saat tidur tadi, dua orang berwajah seram itu memaksanya pergi ke depan masjid.
Melihat santri yang memagar betis di halaman masjid, ia sudah tahu, sebentar lagi ia akan kehilangan rambutnya(botak). Namun, bukan itu yang membuat kepalanya tidak berani menatap kerumunan santri yang kini berbaris rapi seperti saat upacara, melainkan Ning Jejen juga berkumpul bersama santriwati-santriwati yang lain.
Menerima sangsi dengan ikhlas adalah tugas santri yang melanggar aturan di pondok Al-Hakimiyah. Namun sulit baginya menerima sangsi yang ia sendiri tidak sengaja melakukannya. Kesempatan untuk memberi penjelasan yang tidak diberikan padanya; bahwa ia sengaja tidak dibangunkan oleh teman-temannya, membaut hatinya tidak percaya lagi pada tempat yang sudah mengenalkannya Alfiyah selama dua tahun ini. Malam itu, meski nama Surahmat tidak terhapus dari dukumen kesantrian. Ia sudah bulat ingin pergi dari tempat yang selalu membuatnya menanggung malu.
***
Pagi harinya pondok benar-benar gempar oleh berita hilangnya Ning Jejen dari pesantren. Semua orang tidak ada yang diam di tempat. Semuanya sibuk mencari putri Kyai Dahlan yang sejak tadi malam menghilang. Bagaimana dengan kabar hilangnya Surahmat? Seorang pun tidak ada yang bertanya: kemana Surahmat yang saat bersamaan juga tidak ada di pondok. Barangkali saat-saat genting seperti ini tidak ada gunanya bertanya sesuatu yang tidak penting. Bahkan saat sinar matahari mulai menyengat tidak ada yang mengira kalau Ning Jejen pergi bersama Surahmat. Dan selembar daun sirih itu pun telah membalik hati Ning Jejen.
Prenduan, 26 September 2011
Catatan:
Ning: sebutan untuk putri-putri kiyai
Mujawwadah: bacaan Al-quran yang di lagukan.
Pindhere: sebutan untuk santri di kalangan masyarakat Madura.
Lora: sebutan untuk putra kyai
Dhalem: rumah.
Amil: istilah kerja di Pond-Pest Al-Amien Prenduan.
Muthi’: sebutan bagi santri-santri yang taat pada peraturan.
Qismul Ibadah: sebutan bagi pengurus Pond-Pest Al-Amien Prenduan yang menjabat di masjid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar