Jumat, 11 November 2011

Samiyah

Cerpen Abdul Hakim Day
Malam sudah terlalu buta. Namun suara domino masih jelas bersahut-sahutan menampar lantai di halaman rumah. Sebagian orang sudah mulai tidur lelap karena sangat lelah, setelah seharian sibuk membantu persiapan-persiapan acara kenduri besok. Sesekali terdengar keributan piring saling beradu di dapur seakan memberi tahukanku, pesta tidak akan diundur lagi meski aku berharap setengah mati. Mas Attar yang baru saja tertidur tiba-tiba terbangun oleh bunyi piring jatuh dan terpecah menjadi beberapa bagian.

Seperti pecahan itulah hatiku saat mendengar dirinya akan menjadi istri Mas Attar. Betapa tidak. Gadis yang selama ini kurindu dari seberang sebentar lagi akan menjadi kakak iparku sendiri. Aku tidak tahu bagaimana proses kejadian itu. Tiba-tiba kabar itu datang tanpa kuduga sebelumnya, seperti tak pernah kuduga akan mendapatkan cintanya dulu.
Mula-mula aku tidak percaya ketika Mas Attar menelfon dan menceritakan perihal tentang pertunangan yang seminggu lagi akan digelar dengan gadis teman dekatku dulu, katanya. Namun kabar sekaligus luka kudengar saat Ummi mengirim uang bulananku ke pondok. Dengan senyum yang kecut kukatakan sama ummi; aku cukup bahagia dengan pertunangan kakak sulungku itu.
Empat hari sebelum kenduri dimulai ibu dan masku datang ke pondok. “Ayolah! mas ingin kau datang di hari bersejarah ini dalam keluarga kita,” Ajaknya, seakan tak tahu luka yang mengaung di hati. Dengan terpaksa dan rasa kasihan pada mereka yang jauh-jauh datang dari Lenteng aku pun mengiyakannya. “Aku juga ingin melihat Samiyah untuk yang terakhir kalinya. Sebab setelah ini, mungkin aku tidak tahu harus di bawah kemana cinta yang terkhianati ini,” pikirku dalam bimbang.
Selama ini aku selalu mengakui, mas Attar lebih tinggi dan perkasa dariku. Karena ia mewarisi gen ayah yang memang mempunyai postur tinggi. Sedang aku lebih mirip pada ibuku yang dari Madura. Bahkan tak jarang kudengar dari orang-orang dan temen-temen dekatku.
“ Meski Hamdiansyah dan Attar se ayah dan se ibu. Namun, mereka jauh bagai langit dan lubang sumur.” Tetapi, masalahnya bukan itu. Seandainya Samiyah tidak berjanji akan selalu setia menantiku sampai lulus dari pondok, aku tidak masalah dia menikah dengan siapa pun.
***
Ketika tamu mulai berdatangan, aku hanya mendengarkan bunyi sound itu dari dalam kamarku. Saat ijab qobul akan di ucapkan pun aku tetap tidak ingin keluar kamar. Sejak tadi pagi ummi menyuruhku segera bermandi dan segera menemui mas saat mengucapkan Ijab qobul nanti, karena mas dan calon mbak yang kucintai akan segera dirokat. Bapak juga sudah beberapa kali mengetuk pintu. Dikiranya aku sedang tertidur di dalam.
Hari itu aku keluar kamar dan menyaksikan ijab qobul Mas dan Samiyah setengah hati. Tetapi, aku tak menemukan senyum mekar dari bibir Samiyah yang dulu kusenangi itu, sebagai lambang kebahagiaan layaknya para pengantin anyar yang baru akan diakad. Ia lebih banyak menunduk ketimbang menyaksikan para tamu yang datang bagai barisan semut.
***
Samiyah memang selalu menjadi anak tauladan sejak kelas satu MI dulu. Bahkan tidak hanya itu. Ia berwajah manis dan selalu sopan pada setiap lawan bicaranya. Selama pacaran pun ia hanya mau diajak pertemuan bila ada temannya. Aku tidak pernah menyentuh Samiyah seujung kuku pun. Bahkan baju yang ia kenakan pun aku tidak pernah menyentuhnya. Aku hanya selalu memandangnya selama mungkin hingga hatiku mampu menangkap rona malu di pipinya yang kemerah-merahan. Dan itulah yang membuatku tidak yakin ia akan hidup bahagia bersama Mas Attar. Aku tahu hatinya telah penuh bunga kamboja yang berjajar sepanjang gunung Payudan tempat kami sering pertemuan dulu.
Janur kuning masih melingkar di halaman rumahku. Pesta pernikahan sudah dua hari berlalu. Namun tamu-tamu yang mau mengucapkan selamat masih berdatangan, terutama famili-famili ibu dari Lenteng Deje yang tidak sempat hadir saat hari pernikahan kemarin. Aku semakin tidak kuat menahan air mata untuk tidak jatuh melihat kebahagiaan mas Attar dengan Samiyah. Aku tidak mau berlama-lama di rumah. Ruangan yang luas ini seakan menyesakkan dadaku.
Aku segera pamit sama Aba dan Ummi untuk segera kembali ke pondok. Mereka mengiraku terburu-buru karena ada kegiatan mendadak di pondok. Tapi aku menangkap dengan jelas, Samiyah mengerti kenapa aku ingin segera kembali ke pondok. Ia, hanya dia yang mengerti. Tapi, selama dua hari di rumah ia tidak mau menatap wajahku. Ia seakan tak mengenaliku lagi. Aku berusaha mencuri-curi pandang saat makan pagi bersama. Namun ia selalu berusaha merahasiakan wajahnya dariku. Benarkah, hatinya telah tertutup dari wujudku? Dan telah terganti nama mas Attar? Dari mana aku akan tahu semua ini, sedang orang yang dulu jadi Mak Jomblang juga menutup mulut tak tahu apa-apa katanya.
***
Tanganku gemetar saat Yudisium kenaikan kelas dibacakan. Aku tidak mendengar namaku disebut di antara nama yang lulus dengan predikat Imtiyaz. Aku mengira aku sudah tidak akan lulus. Namun, setengah jam setelah itu, akhirnya namaku disebut juga setelah detak jantungku semakin keras karena penasaran sedari tadi pagi menunggu giliran disebut.
Walau namaku masuk daftar golongan orang-orang yang lulus. Namun berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Kali ini namaku terpampang bersama mereka yang berpredikat dha’if. Aku juga tidak terlalu kecewa. Karena sekarang apa arti sebuah nilai bagus dan peringkat satu bagiku, dibandingkan rasa kehilaingan dirinya di hatiku. Dulu aku selalu berusaha menjadi yang terbaik. Sebab sehabis ujian akan ada telfon darinya tentang bagaimana nilaiku.
Sejak kembali ke pondok tidak hanya prestasiku yang menurun tapi juga berat badanku. Beberapa pekan ini, aku sering kali masuk keluar rumah sakit pondok yang dihususkan untuk santri. Setelah memutuskan untuk tidak makan dan tidak berolahraga, aku sering sakit-sakitan. Sudah berapa kali Abi dan Ummi datang ke pondok karena mendapat telfon dari Rumah sakit pondok agar aku di rawat di rumah untuk beberapa hari saja, sampai kesehatanku membaik. Tapi, aku selalu menolak. Setiap kali ummi memaksa setiap kali itu pula aku menolak. Aku tahu kekhawatiran di benak mereka. Tapi bagiku lebih baik sakit dari pada harus tinggal seatap dengan Mbak yang kucintai itu.
Ini yang membuatku heran. Jumat 29 Agustus aku pulang bukan karena liburan atau penyakitku kambuh. Melainkan permintaan Ummi  yang ingin aku pulang bukan pada waktunya. Aneh, setahuku ummi tidak pernah merestui aku pulang selama aku mondok tanpa ada alasan. Kali ini Ummi memintaku segera pulang. Mungkin saja mereka rindu aku pulang. Sebab sejak setelah pernikahan dulu aku tidak pernah pulang ke rumah. Aku lebih senang menghabiskan waktu liburan pertengahan dan akhir tahun di rumah teman atau menyendiri di pondok.
***
Sesampai di rumah aku bersalaman mencium tangan abi dan ummi sebagai tanda ta'dzim menjadi seorang santri. Aku sudah melihat banyak perubahan setelah kurang lebih dua tahun setengah tidak pulang. Pohon-pohon jeruk yang mengelilingi pagar rumah dulu, kini tinggal satu yang masih bertahan. Kedua adikku Husnul dan Wardani sudah bertambah besar dan kelihatan semakin cantik. Mereka  bergantian memelukku seperti seabad tak bertemu. Namun, aku tidak melihat mas Attar dan Samiyah di barisan keluarga yang menyambutku. Tiada tanya dan jawab diantara kami. Seolah-olah kami terbiasa dengan keadaan yang sebenarnya dalam hatiku tidak biasa.
Aku masuk ke kamar dengan ribuan pertanyaan yang berhamburan di kepalaku. Aku hanya dapat mengira-ngira untuk sekedar meyakinkan persaanku bahwa tidak terjadi apa-apa di antara kami. Mungkin mereka lagi pergi berbelanja ke pasar Anom atau sedang menyiram tembakau di sawah yang diberi mertua Mas Attar tahun lalu. Begitulah kemungkinan-kemungkinan lain terus bermunculan di benakku
Aku semakin merasa bingung bila seharian berada di rumah. Dan tetap tidak ada sesuatu apa pun yang dapat memberi tahuku apa yang terjadi dengan keluarga ini. Lebih baik aku pamit saja dan segera kembali ke pondok sebelum kisah cintaku yang patah kembali mengusik ketenangan jiwa yang selalu merindukan dirinya.
Ketika aku mau pamit untuk segera kembali, Abi dan Ummi tetap bersikap dingin padaku. Entah bagai mana caranya aku memancing mereka agar tidak usah hawatir apa lagi merasa takut untuk menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi. Di mata Abi dan ummi aku menangkap isyarat ada sesuatu yang ingin disampaikan. Tapi, mereka saling menjaga sikap dan seolah-olah takut melukai perasaanku.
“ Kau ingin benar-benar mau berangkat hari ini?” Tanya ummi seolah tidak percaya dengan apa yang di lihatnya.
“ Iya Mi,” jawabku meyakinkan Ummi.
Aku kembali mencium tangan Ummi. Ia mengusap-ngusap rambutku. Aku merasakan sentuhan lembut yang sudah dua tahun ini tidak kurasakan. Entah, dari mana datangnya? Aku juga tidak tahu. Tiba-tiba aku meresa berdosa telah membiarkan dirinya rindu akan kepulanganku. Perasaan cemburu dan dendam yang berlebihan telah membutakan hatiku—bahwa masih banyak orang-orang disampingku yang merindukan dan masih peduli terhadapku.
Aku memang merasa terlukai dan kehilangan. Tapi apakah berhak membenci semua orang di sini yang memang tidak tahu kalau Samiyah adalah pacarku sejak MTs dulu? Dan betapa gelisahnya jiwaku yang tahu syariat tetapi melanggar syari’at itu sendiri. Sebagai santri seharusnya aku malu pada Mas Attar yang hanya lulusan SMA dan biasanya tidak banyak mengetahui tentang agama.  
Namun perasaan itu kembali sirna saat aku kembali mengingat-ingat kenangan bersama Samiyah. Aku belum bisa berbuat adil saat posisiku dalam keterpurukan, meski harus pada masku sendiri. Karena, jujur meski aku tahu ini salah dan mungkin sangat tidak terpuji sekali sebagai seorang adik, aku masih mencintainya dan berharap bisa melingkarkan cincin di jarinya, entah kapan itu.?
***
Ini adalah tahun terakhirku hidup di pesantren. Aku benar-benar telah jauh dari mereka. Program niha’ie benar-benar membutuhkan tenaga ekstra. Di samping masuk kelas, aku hanya libur satu atau dua hari saja dari kegiatan lainnya. Waktuku lebih banyak dihabiskan pengarahan, workshop, atau pengarahan untuk menjadi seorang mundzirul qaum, bagi masyarakat nantinya. Tidak mudah menjadi santri kelas akhir. Waktu kelas lima jumlah teman-temanku masih sekitar seratus tiga puluh tujuh dan sekarang tersisa seratus dua puluh tiga. Mereka banyak yang berguguran sebelum sampai garis finish. Begitulah seleksi alam yang kami yakini di pondok. Di antara kami tidak tahu siapa yang akan lulus dan siapa yang akan gugur.
Panitia niha’ie meminta semua santri kelas enam mengumpulkan paper paling lambat hari jumat tanggal 29 agustus. Kini sudah tanggal 20. Aku hanya punya waktu 9 hari untuk bisa menyelesaikan tugas terberat di kelas akhir ini. Aku tidak mau seperti kakak kelasku tahun-tahun sebelumnya. Di antara mereka ada yang tidak lulus karena tidak bisa menyelesaikan tugas ini. Aku mulai sibuk dengan tugas-tugas baruku yang harus kuikuti agar bisa lulus nanti.
Aku merasa lebih tenang dengan kesibukanku ini. Karena sekeras apapun batu akan tetap berlubang oleh tetesan air yang terus menerus. Begiutulah alam mengajari manusia agar tidak putus asa dalam menyelesaikan persoalan sesulit apa pun. Sekeras apa pun hatiku aku hanyalah manusia. Maka lapanglah kiranya dendam ini setelah menyadari aku hanya tertipu rayuan syetan agar aku bermusuhan dengan kakak kandungku sendiri. Lagi pula mas juga tidak tahu menahu tentang kisah kasihku di sekolah dulu. Aku tidak mau menjadi Qobil yang tega membunuh saudaranya hanya karena wanita. Aku akan minta maaf sama mas Attar dan akan menyerahkan Samiyah dengan tulus, setulus kuberikan cintaku padanya dulu.
***
Sebentar lagi santri-santri yang lain akan memanggilku ustad. Bertahun-tahun aku menyelami lautan ilmu penuh uji dan coba. Akhirnya titel ustad pun sebentar lagi akan kudapat. Namun, sampai hari wisuda pun aku tidak melihat Mas Attar dan Samiyah. Abi dan ummi hanya datang bersama kedua adikku. Begitu sibukkah mereka hatta hari wisudaku saja tidak datang?
Dulu aku tidak peduli luka yang menggores hati. Aku hadir menyaksikan ijab kobul mereka dengan linangan air mata. Lantas inikah balasan mereka setelah berhasil mencabik-cabik hatiku bertahun-tahun lamanya. Bukankah seharusnya mereka menyaksikan aku bahagia setelah kebahagiaan mereka rebut dariku. Maka saat itulah aku tahu dendamku benar-benar tidak terhapus. Persaan itu mulai kembali memenuhi rongga dadaku yang tadinya kupikir akan sembuh dari luka. Saat teringat mereka tidak datang. Aku tidak kuat lagi menyimpan amarahku. Maka saat itu juga aku pamit ingin pergi ke Kudus dengan dalih akan melanjutkan hafalan Quranku.
Bukan wajah senang yang tampak dari wajah Ummi saat mendengar keinginanku itu, melainkan ia sedih dan menangis hingga meneteskan air mata. “Ini pertama dan terakhir aku membuat sedih Ummi” rintihku dalam hati
“Kenapa kau benar-benar tidak ingin pulang kerumah nak?” pertanyaan itu benar-benar menyayat hatiku. Aku tidak pernah menyangkah sedalam itukah sedih kutanam tanpa kusadari di hati Ummi.
“Ummi, selagi Samiyah masih di rumah aku tidak akan pulang dan mungkin akan terus pergi sesuka hatiku” Aku tidak menyadari apa yang keluar dari mulutku. Namun, justru itulah aku bisa berterus terang tentang hubunganku dengan Samiyah sebelum menjadi istri Mas Attar. Aku tidak hanya sedih melihat air mata semakin deras mengalir di pipi ummi yang sudah tampak tua. Aku benar-benar menyesal memberi tahu apa yang bertahun-tahun berhasil kusembunyikan dari keluargaku. Dan tak pernah kusangka-sangka apa yang terjadi di rumah setelah kepergianku dulu. Tertanya Ummi sudah tahu tentang semua ini.
“Adakah Samiyah yang memberi tahu semua ini Ummi?” tanyaku dengan berurai air mata.
“Justru itulah, kenapa Ummi selalu menangis dan terus memperhatikanmu selama kau sakit-sakitan di pesantren. Ummi takut kau akan nekad dan berbuat hal-hal yang tidak pernah agama dan ummi inginkan. Setiap kali Ummi menyaksikan berita tentang seorang pemuda yang bunuh diri karena ditinggal mati pacarnya Ummi teringat akan dirimu yang tersiksa atas pernikahan kakakmu. Dan kematian Samiyah pun Ummi rahasiakan darimu. Sudah setahun yang lalu Samiyah meninggal membawa penyakit yang berbulan-bulan dideritanya. Ia selalu berusaha menyembunyikan kerinduannya padamu. Hingga suatu hari ia jatuh sakit dan selalu menyebut-nyebut namamu. Bahkan, saat menutup matanya untuk yang terakhir kalinya, ia membisikkan namamu. Ummi memintamu pulang waktu itu. Namun, sebelum kau sampai di rumah malaikat maut telah lebih dulu merenggut nyawanya. Kau tidak berhak menaruh persaan benci padanya. Ia tidak bahagia selama hidup dengan Mas mu. Ia tidak pernah berkhianat. Sebab saat Abimu melamarnya, ia mengira kaulah yang akan ditunangkan dengan dirinya. Ia pandai menjaga perasaan orang lain. Karena itulah ia tidak berani memberi tahukan kisah cintanya denganmu pada masmu yang juga mencintai dirinya. Dan mungkin Ummi hanya akan mendengarkan rintihannya saja dan tidak akan pernah tahu yang sebenarnya, kalau saja ummi tidak menemukan buku hariannya yang ia tulis sejak kepergian Mas mu ke Malaysia.”
Aku tidak dapat mendengar apa-apa lagi setelah panjang lebar ummi menjelaskan keadaan yang benar aku tidak ketahui. Sungguh pun begitu penyesalan begitu dalam memukul hatiku. Hingga aku tak tahu lagi pada siapa aku harus meminta maaf.?



Catatan dan istilah orang madura.
Mundzirul qaum: bahasa arab artinya: (penegur atau peminpin ummat)
Imitiyaz: bahasa arab. Artinya: (istimewah)
Dha’if: bahasa arab. Artinya:(lemah)
Anyar: bahasa Madura. Artinya:(baru)
Rokat: mandi tolak balak
Paper: semacam skripsi yang wajib di kerjakan oleh santri kelas akhir TMI Al-AMIEN  
Prenduan
Niha’ie: sebutan bagi santri kelas akhir TMI AL-AMIEN Prenduan

Prenduan 13 Sebtember 2011

Selembar Daun Sirih

Bulan sabit itu seperti menuruni anak tangga. Perlahan-lahan bumi gelap, bagai kamar yang baru terlepas dari cahaya lampu.

Sesuai dengan pesan Mbah Surip tiga malam lalu, yakni ketika bulan di tanggal tua, Surahmat menyusuri jalanan yang sudah tidak terang lagi seperti satu jam sebelumnya. Kini, cahaya bulan benar-benar telah menghilang dari pangkuan bumi. Namun ia seperti berjalan di bawah cahaya lampu saja, kakinya seolah sudah hafal jalan yang baru tadi siang ia jalani untuk mencari kuburan korban tabrakan. Saat menyadari langkahnya sudah semakin jauh dari asrama pondok, ia kembali merogoh kantongnya, memastikan selembar daun sirih yang diambilnya di belakang dhalem kiyai Dahlan, tidak kemana-mana.
Ia menutup hidung dengan tangan kirinya. Bau busuk mayat yang menyembul keluar dari gundukan tanah merah yang kini berada tak jauh di depannya seakan mengaduk seluruh isi perutnya untuk segera di muntahkan. Kini, segala keberaniannya yang dikumpulkan sejak tadi siang perlahan-lahan runtuh melihat ulat satu-persatu berloncatan dan menjelma ular raksasa yang siap menerkam dirinya. Namun, saat ingin menarik langkah seribu, ia kembali mengingat pesan Mbah Surip dalam kebimbangannya; bahwa semua itu adalah godaan yang tidak lebih untuk menakut-nakuti para penyepi saja.
“Jika kamu bertahan sampai godaan itu pergi, barulah seorang kakek berjubah putih akan datang dan siap mengabulkan satu permintaanmu,” Begitulah Mbah Surip, panjang lebar menjelaskannya. Mengingat kalimat itu, persaan takut yang mencekamnya kembali menjadi sebuah harapan yang sudah membuat segala usahanya sebelumnya sia-sia untuk meraih harapan itu. Ia tahu, tidak gampang untuk membuktikan pada tiga teman asramanya yang usil, kalau ia bisa mendapatkan hati putri Kiyai Dahlan yang diam-diam mereka juga dambakan seperti seluruh pindhare pondok mendambakannya.
***
Di telinga santri-santri Muallimien (putra) nama Ning Jannatun Naimah bukan sesuatu yang asing lagi. Bahkan di kalangan lora-lora pondok, topik mengenai putri sulung Kyai Dahlan ini tidak kalah hebohnya dengan berita kenaikan BBM yang dijadikan buah bibir oleh ibu-ibu di pasar-pasar, atau di kedai tempat tukang ojek menyeruput kopi susu.
Kalau dari segi penampilan tidak sedikit di antara santriwati yang mempunyai wajah sepadan. Bahkan ada yang lebih cantik dari Ning Jejen—panggilan sehari-hari dari anak orang terhormat dan dihormati itu. Namun, bakat dan kemampuannya membaca Al-Quran dengan mujawwadah itulah penyebab para santri putra yang diam-diam mengaguminya seakan-akan mendengarkan eufoni samawi dan selalu terbawa lamunan siang-malam.
Barangkali itulah pandangan hidup para pindhere dalam mencari tipe wanita yang ideal. Mereka tidak terlalu mementingkan wajah dalam menilai kecantikan perempuan, tetapi bakat dan kemampuannyalah yang lebih diutamakan.
Setiap kali pondok membuka acara secara resmi dengan Ning Jejen sebagai qariah-nya, santri putra tidak usah digerakkan ke barisan depan. Karena bukan cuma tempe penyet di dapur yang sering kali jadi rebutan, barisan depan pun akan jadi rebutan. Bahkan ada yang sudah menunggu satu jam sebelum acara dimulai.
Belum cukup itu. Di kalangan muallimat (putri) ia dikenal sebagai putri kiai yang paling santun dan sederhana dalam kesehariannya dibanding kebanyakan putri-putri kiai yang lainnya. Dalam masalah berdandan misalnya. Ia memasang bedak seperlunya. Namun tidak sedikit di antara teman-temannya yang selalu mengiranya memakai bedak impor, karena wajahnya selalu terlihat segar seperti habis mandi walau sudah seharian beraktivitas.
***
Malam sudah semakin buta. Tak ada suara-suara yang terdengar kecuali bunyi blarak yang saling beradu kerena di hempas angin malam. Lolong anjing dari kejauhan semakin membuat suasana malam di kuburan mencekam. Namun, hati Surahmat tetap tak bergeming. Ia tenggelam dalam mantra yang kata Mbah Surip akan mengubah pandangan Ning Jejen sepertri melihat ketampanan nabi Yusuf.
Saat putaran tasbih yang ke seribu kalinya, ia menghentikan gerakan jarinya. Mulutnya yang sedari tadi komat-kamit berhenti sejenak. Ditiupnya berkali-kali daun sirih bertuliskan namanya yang memakai huruf-huruf arab dan nama Ning Jejen yang bertulis arab tetapi terbalik. Entah apa maksudnya? Ia sendiri juga tidak begitu paham bahasa dukun. Tetapi, kata Mbah Surip hati Ning Jejen akan terbalik juga.
Begitu tidak satu pun syarat ada yang tertinggal, ia memasukkan selambar daun sirih itu ke salah satu lubang kuburan itu. Dalam menunggu kedatangan kakek tua itu, ia kembali memejamkan matanya. Tak lama kemudian lamat-lamat suara muadzin terdengar dari kejauhan. Ia yakin suara itu berasal dari masjid di asramanya. Namun, ia tetap tidak akan pergi sebelum yang ditungguinya datang. Dan sampai kapan pun kakek itu tidak akan datang, karena sebentar lagi malam akan mencemput pagi. Dan ia harus masuk sekolah
***
Di mata Surahmat, Ning Jejen tidak lebih dari perempuan biasa. Kalau ia mau, tidak perlu berputar tujuh keliling di kampungnya untuk melingkarkan cincin di jari perempuan sepertinya. Bahkan, saat teman-temannya menjulukinya si Buruk Rupa yang merindukan Putri Salju, sama sekali ia tidak sakit hati. Karena, ia menyadari diantara teman-temannya dirinyalah yang berkulit paling legam.
Dan pada suatu petang itulah niatnya terbit untuk membuktikan bahwa dirinya tidak hanya bisa jadi bahan olok-olokan, tetapi juga bisa mengenalkan diri pada Ning Jejen, bahkan ia bisa jadi pacar idola seluruh santri putra pondok itu. Subuh itu, karena ada masalah keluarga yang harus diselesaikan Surahmat memberanikan diri menemui Kiai Dahlan di dhalemnya. Begitulah pola pendidikan mereka. Selain tugas mentransfer ilmu-ilmu ke otak santri, kiai-kiai juga menjadi tumpuan masalah yang menimpa santri-santrinya. Namun, saat Surahmat keluar dari Dhalem kyai, tiga orang teman-temannya yang melihat wajahnya murung memberi kesimpulan yang membuatnya naik pitam.
“Jangan murung gitu dong Mat! masih banyak ko’ wanita lain yang menunggu lamaranmu,” Mendengar kalimat itu, kontan darah di punggungya naik ke ubun-ubunya. Ia menatap tiga pemuda itu seraya menatap langit. Sejak itulah matanya selalu nyalang dan berapi-api setiap kali menatap biru awan. Ingin rasanya memetik bintang dan melemparkannya pada mereka yang usil.
***
Janji hanyalah janji. Setelah berbulan-bulan lamanya ia tidak punya cukup banyak cara untuk membuktikan janji dalam hatinya. Ia memang tidak seperti teman-temannya yang mempunyai ketampanan dan IQ tinggi untuk membuat namanya populer di kalangan Majlis Kiai dan di kalangan pondok sebesar Al-Hakimiyah itu. Sudah berkali-kali ia mencoba mengasah kemampuannya demi namanya ingin disebutkan saat hiwar jum’at pagi. Karena yang di sebutkan mereka yang berprestasi dan selalu menang lomba baik regional maupun nasional, akhirnya harapan tinggallah harapan saja. Berakali-kali lomba dalam pondok diikutinya, namun berkali-kali pula ia selalu menelan kekalahan.
Dan saat santri yang dapat menghafal seribu bait Alfiyah juga di sebut waktu hiwar jum’at, Surahmat juga tidak mau ketinggalan dalam audisi yang sebenarnya bukan Ning Jejen sebagai hadiahnya. Tapi bukan rahasia umum lagi. Olok-olok dan istilah seperti itu di kalangan para santri muallimien, untuk mempompa semangat persaingan. Bahkan saat amil di dhalem Kiai Dahlan saja terkadang ada yang nyeletuk dengan kalimat-kalimat yang menggelikan telinga. Ada yang bilang “Kalau mau senyum Ning Jejen, ba’dah subuh kita bersih-bersih di dhalem”, Siapa yang sering sowan ke dhalem, maka besar pula kesempatan memiliki istri secantik Siti Aisyah, istri tercantik nabi itu. “Hs… hs… diam! ntar ilmunya gak barokah.” Tegor seorang santri yang Muthi’ di sela gurauan mereka.
***
Meski janjinya itu tidak ditempel di papan pengumuman santri. Namun sebagai lelaki Surahmat malu pada hati kecilnya yang tidak berdaya menepati janjinya sendiri. Oleh keadaan itu, semuanya menjadi tak baik. Ia lebih sering menyendiri bahkan ia tidak mau bergaul lagi dengan teman-temannya. Saat Ia mendengar orang-orang sekitarnya tertawa lepas, ia selalu merasa tertawaan itu adalah penghinaan baginya. Semenjak itulah hidupnya semakin tidak jelas di pesantren. Ia putus asa, bahkan tidak mau masuk kelas. Kini setiap kali orang bercerita tentang Ning Jejen ia merasa seolah-olah mereka hendak melepas anak panah lebih dulu dan merebut buruannya itu.
Maka pada saat semua santri terlelap di asrama. Ia keluar pondok mencari alamat yang ia dapat dari seorang teman yang mengabarinya lewat telepon dua hari yang lalu. Tidak susah mencari alamat itu, sebab selain dukun sakti mandra guna, rumah Mbah Surip juga dekat tempat wisata terkenal, yaitu Pantai Lombang. Kata orang yang pernah mengunjungi Mbah Surip, mereka tidak perlu menjelaskan maksud kedatangannya. Mbah Surip sudah lebih dulu tahu apa keinginan yang terpendam di hati masing-masing pengunjung.
Begitu sampai di depan rumah yang dijaga oleh tiga ekor anjing, matanya tak berhenti menatap tengkorak yang mirip kepala manusia, tergantung di atas pintu rumahnya. Menurut berita orang yang sempat bertanya pada Mbah surip, itu adalah salah satu dari lima kepala Raja Iblis yang dipenggal buyutnya saat memperebutkan mustika Beto Item. Dari sebuah riwayat lain diceritakan. Setelah menyepi bertahun-tahun lamanya di Gua Elong. Buyutnya seperti mendapat titah dari seorang kakek renta untuk menyelamat ummat manusia dari kekejaman raja iblis berkepala lima. Entah, seperti apa jalur pertarungannya,? Mbah surip tidak menceritakannya. Tetapi warisan mustika itulah yang menjadi sumber kekuatan dukun yang kebal peluru itu. Melihat kesaktiannya, hatinya begitu yakin. Satu dua hari lagi para pindhere di pesantren akan gigit jari melihat keberhasilannya.
***
Saat pelajaran terakhir pun berlangsung ia masih tetap mengantuk. Lehernya tidak kuat mendograk kepalanya hingga berkali-kali membentur tembok di sampingnya. Dari sorot matanya yang merah, nampak bahwa semalaman tidak tidur. Surahmat hanya mendengar Ustad Makmun, pengajar fiqih mengucapakan salam pembukaan dan tidak tahu kapan keluarnya. Sebab sepanjang pelajaran fiqih ia tidak mendengar apa-apa. Bahkan saat santri yang lain sudah bergegas pulang ia tetap tidak bergeming dari tidurnya. Dan alangkah kagetnya pada saat ia terbangun, dengan tidak di sangka-sangka ingatannya baru menyadari kalau dirinya belum shalat dzuhur dan ashar sekaligus. Kira-kira apa yang akan terjadi kalau sampai pengurus pondok menemukannya? Ia sudah dapat menebak apa hukuman bagi santri Al-Hakimiyah yang tidak ikut shalat jam’ah.
Saat kesadarannya belum terkumpul semua, tiba-tiba bagian Qismul Ibadah menjemputnya ke dalam kelas. Belum sempat merapikan buku-bukunya yang berjatuhan saat tidur tadi, dua orang berwajah seram itu memaksanya pergi ke depan masjid.
Melihat santri yang memagar betis di halaman masjid, ia sudah tahu, sebentar lagi ia akan kehilangan rambutnya(botak). Namun, bukan itu yang membuat kepalanya tidak berani menatap kerumunan santri yang kini berbaris rapi seperti saat upacara, melainkan Ning Jejen juga berkumpul bersama santriwati-santriwati yang lain.
Menerima sangsi dengan ikhlas adalah tugas santri yang melanggar aturan di pondok Al-Hakimiyah. Namun sulit baginya menerima sangsi yang ia sendiri tidak sengaja melakukannya. Kesempatan untuk memberi penjelasan yang tidak diberikan padanya; bahwa ia sengaja tidak dibangunkan oleh teman-temannya, membaut hatinya tidak percaya lagi pada tempat yang sudah mengenalkannya Alfiyah selama dua tahun ini. Malam itu, meski nama Surahmat tidak terhapus dari dukumen kesantrian. Ia sudah bulat ingin pergi dari tempat yang selalu membuatnya menanggung malu.
***
Pagi harinya pondok benar-benar gempar oleh berita hilangnya Ning Jejen dari pesantren. Semua orang tidak ada yang diam di tempat. Semuanya sibuk mencari putri Kyai Dahlan yang sejak tadi malam menghilang. Bagaimana dengan kabar hilangnya Surahmat? Seorang pun tidak ada yang bertanya: kemana Surahmat yang saat bersamaan juga tidak ada di pondok. Barangkali saat-saat genting seperti ini tidak ada gunanya bertanya sesuatu yang tidak penting. Bahkan saat  sinar matahari mulai menyengat tidak ada yang mengira kalau Ning Jejen pergi bersama Surahmat. Dan selembar daun sirih itu pun telah membalik hati Ning Jejen.

Prenduan, 26 September 2011


Catatan: 
Ning: sebutan untuk putri-putri kiyai
Mujawwadah: bacaan Al-quran yang di lagukan.
Pindhere: sebutan untuk santri di kalangan masyarakat Madura.
Lora: sebutan untuk putra kyai
Dhalem: rumah.
Amil: istilah kerja di Pond-Pest Al-Amien Prenduan.
Muthi’: sebutan bagi santri-santri yang taat pada peraturan.
Qismul Ibadah: sebutan bagi pengurus Pond-Pest Al-Amien Prenduan yang menjabat di masjid.



Nasia


Cerpen Abdul Hakim Day
Ia menatap seekor angsa yang mengibas-ngibaskan sayapnya di atas air telaga tempatnya mencuci. Sambil membilas pakaiannya, pikirannya kembali teringat pada lelaki misterius yang selalu membuat pertanyaan-pertanyaan berhamburan di kepalanya.
Tidak tahu dari mana asalnya. Tiba-tiba  sejak lima hari yang lalu lelaki itu duduk di jembatan tempat setiap kali Nasia menyebrang kala hendak mandi atau mencuci pakainnya. Yang membuat bulu kuduknya berdiri adalah tatapannya yang mungkin lebih tajam dari pisau pemotong ikan di dapurnya. Setiap hari Nasia menyebrangi jembatan itu setiap kali itu pula lelaki itu selalu menatapnya bulat-bulat seperti hendak menelan tubuhnya yang langsing seperti Artis Britney Spears itu.
Tatapan itu selalu terbayang di benaknya saat Nasia mengendorkan otot-ototnya setelah datang dari danau, untuk istirahat sejenak. Bahkan, saat makan pun ia tetap tidak bisa melupakan tatapan itu barang sedikit pun. Sepertinya ia mengenalnya. Tapi, di mana? Tempat pertemuannya pun ia lupa.
Ingin ia mengenalnya seperti angsa mengenal telaga tempat pemandiannya. Tetapi, tatapan itu terlampau menakutkan naluri keperempuanannya. Terlintas di benaknya: ia sedang berjalan menyebrangi jembatan itu. Tiba-tiba lelaki yang duduk tadi mengikutinya dan mengintipnya saat ia mandi. Kemudian.… ah, Astaga! Ia tidak dapat meneruskan apa yang ia bayangkan.
Meski lalaki itu tidak berbuat apa pun. Namun, Nasia tidak bisa untuk tidak takut padanya. “Tidak mungkin ia memandang tanpa maksud” pikirnya pada diri sendiri. Maka sejak itu ia jarang melewati jembatan. Tiga atau empat hari sekali ia mengambil air minum. Bahkan, selama satu minggu pun ia tidak pernah melewati jembatan itu.
***
Nasia bangun dengan nafas yang masih tersenggal-senggal. Perasaan takut telah membawanya ke alam mimpi. Keringat dingin membasahi keningnya. Ia baru saja melihat lelaki itu lagi dalam mimpinya. Lelaki itu berteiak-teriak dan kadang menangis, tertawa dan kadang juga memanggil-manggil nama yang rasanya, juga pernah ia dengar. Tapi ia juga lupa di mana ia pernah mendengar nama itu. Sambil melangkah ke dapur untuk mengambil air minum ia kembali mengingat-mengingat di mana ia pernah mendengar nama Hosma. Mungkinkah saat melihat sinetron? Rasanya tidak. Sebab sejak beberapa bulan yang lalu tak ada tetangganya yang mau di tumpangi untuk mengalirkan listrik ke rumahnya. Atau..! saat mendengarkan siaran berita di radio? Juga tidak. Karena tanpa tahu sebabnya pemilik warung depan rumahnya sejak beberapa bulan yang lalu juga tidak mau ngasih pinjaman radio. Jangankan radio. Mau beli-beli saja terkadang ditolak.  
Dua jam berlalu ia menepis kemungkinan-kemungkinan yang sedari tadi bermunculan di keningnya.  Jarum jam sudah menunjuk angka 2. 00. Ia kembali mengelus dada. Usahanya untuk mengingat nama yang dipanggil wanita murahan,sundal,penghianat dalam mimpinya tadi, sia-sia belaka. Ia tak kunjung ingat juga sampai akhirnya kepalanya terasa pening seperti dipukuli berkali-kali. Dan cahaya lampu teplek hilang di atas ubun-ubunnya. Ia kembali pulas dengan mimpinya.
***
Saat pagi menyambut matahri ia baru menyadari persedian air di gentongnya sudah habis. Di dapur air juga hanya ada pada bagian bawah gentongnya saja. Kemana lagi air hendak dicari. Bila mengingat telaga ia kembali teringat jembatan yang membuat bulu kuduknya berdiri. Kalau harus menunggu sampai lelaki itu pergi dari jembatan, rasanya tidak mungkin ia bertahan dengan lapar yang dari tadi malam melilitnya.
Dan saat matahari mulai beranjak tinggi meninggalkan Nasia yang masih gelisah di kamarnya, cacing di perutnya semakin ramai bersahut-sahutan seperti marah pada Nasia karena tak satu butir pun nasi mereka terima.
Sebenarnya ia lebih takut menyebrangi jembatan itu, dari pada lapar yang melilitnya. Sebab sudah pasti ia tidak akan nyenyak tidur malam harinya, karena tatapan asing itu. Namun akhirnya kegerahan mendekti kakinya melangkah ke dapur untuk mengambil ember dan segera pergi ke telaga.
***
Semenjak kepergiannya hari itu Nasia selalu termenung. Ia tidak bisa membayangkan seandainya tidak ada orang yang memandikan sapinya di telaga waktu itu. Mungkin saja, ia sudah tinggal di ruang bawa tanah atau sedang terbaring di atas ranjang. Lelaki itu mencoba mencekeknya dan mengata-ngatainya perempuan  sundal, penghianat, dan banyak lagi sumpah serapah lainnya berhamburan dari mulutnya.
Kini ketakutan semakin mencekam hatinya, bahkan sampai mengingau setiap kali ia tidur. “Tidak, aku bukan wanita Murahan, kau jangan bunuh aku. Aku tidak tahu apa-apa” begitulah kalimat yang sering kali terlontar dari mulut Nasia kala ia tidur. Dan karena ketakutan itu, Nasia jatuh sakit. Ia terbaring lemah di atas ranjang. Dalam fikirannya bayangan lelaki itu selalu muncul dan mengejar-ngejar dirinya.
***
Semenjak itu tetangganya  jarang melihat Nasia keluar rumah, apalagi pergi ke telaga. Ada yang sebagian iba, membawakan Nasia roti dan biskuit, namun ada yang juga masih menyimpan perasaan acuh tak acuh, terutama ibu-ibu yang pernah cemburu karena suaminya sering kali memuji-muji dagunya yang seperti mangga Madura atau badannya yang seperti gitar India.
Nasia  memandang setiap yang datang penuh rasa heran. Ia bertanya-tanya tentang lelaki itu. Namun, tak satu pun di antara tetangga yang datang menjawab keberadaan lelaki itu sekarang. Malah, ada yang mengatakan tidak tahu sama sekali. Jawaban-jawaban itu semakin membuat kepalanya pening dan semakin bingung saja. Tetapi, dalam benaknya hanya muncul harapan “Kapan lelaki itu akan pergi dari jembatan?” Kapan, kapan dan kapan. Begitulah pertanyaan-pertanyaan terus berhamburan di benaknya.
***
Ketika Nasia mulai sembuh dari sakitnya, ia lebih sering menatap benda-benda yang mengisi kamar dan lemarinya. Hanya dengan memandang benda-benda itu ia dapat melupakan kejadian-kejadian yang sudah menimpanya.  Sejak libur dari aktifitas mencuci di telaga, hari dirasanya begitu sepi. Ada kerinduan pelan-pelan menyeruak dan memenuhi rongga hatinya. Namun rindu yang tidak jelas. Ia merasa sedih, terlebih bila mengingat angsa yang diam-diam tanpa disadarinya telah satu bulan tak pernah dilihatnya. “Semuanya gara-gara lelaki itu” pikirnya pada diri sendiri.
Untuk memastikan lelaki itu sudah benar-benar pergi, setiap kali ada orang lewat depan rumahnya Nasia selalu menanyakannya. Setiap orang yang ditanyai tentang lelaki itu kadang tersenyum dan kadang tidak menjawab apa-apa. Harapan tinggallah harapan. Karena tidak satu orang pun mulai ujung barat sampai ujung timur Kampung Arab yang mengetahui tentang keberadaan lelaki yang dianggapnya misterius itu. Ia terus bertanya tanpa kenal lelah, tanpa keluh dan bosan. Mungkin ia akan terus bertanya pada waktu dan zaman selagi ia masih bisa bertanya. Hingga akhirnya pada suatu sore ia menyaksikan warga Kampung Arab berduyun-duyun mendatangi jembatan itu
***
Lelaki yang selama ini diharapkannya pergi dari jembatan akhirnya dijemput  ambulance. Ia mengetahui lelaki itu adalah tahanan rumah sakit jiwa yang membunuh bocah SD sepulang sekolah di kampung sebelah dua hari yang lalu. Ia juga tahu bahwa: lelaki itu akan dipenjara akibat perbuatannya. Namun, ia tidak pernah tahu kalau lelaki itu adalah suaminya yang gila akibat perselingkuhannya dengan suami tetangganya.
Nasia juga tidak pernah tahu kalau dirinya amnesia akibat jatuh dari motor pacarnya saat kabur dari rumah suaminya. Dan sejak itu mulut-mulut usil yang tidak menyukainya memangil Nasia. (Orang yang lupa)

Kampung Arab Sumenep, 28 oktober 2011