Jumat, 11 November 2011

Samiyah

Cerpen Abdul Hakim Day
Malam sudah terlalu buta. Namun suara domino masih jelas bersahut-sahutan menampar lantai di halaman rumah. Sebagian orang sudah mulai tidur lelap karena sangat lelah, setelah seharian sibuk membantu persiapan-persiapan acara kenduri besok. Sesekali terdengar keributan piring saling beradu di dapur seakan memberi tahukanku, pesta tidak akan diundur lagi meski aku berharap setengah mati. Mas Attar yang baru saja tertidur tiba-tiba terbangun oleh bunyi piring jatuh dan terpecah menjadi beberapa bagian.

Seperti pecahan itulah hatiku saat mendengar dirinya akan menjadi istri Mas Attar. Betapa tidak. Gadis yang selama ini kurindu dari seberang sebentar lagi akan menjadi kakak iparku sendiri. Aku tidak tahu bagaimana proses kejadian itu. Tiba-tiba kabar itu datang tanpa kuduga sebelumnya, seperti tak pernah kuduga akan mendapatkan cintanya dulu.
Mula-mula aku tidak percaya ketika Mas Attar menelfon dan menceritakan perihal tentang pertunangan yang seminggu lagi akan digelar dengan gadis teman dekatku dulu, katanya. Namun kabar sekaligus luka kudengar saat Ummi mengirim uang bulananku ke pondok. Dengan senyum yang kecut kukatakan sama ummi; aku cukup bahagia dengan pertunangan kakak sulungku itu.
Empat hari sebelum kenduri dimulai ibu dan masku datang ke pondok. “Ayolah! mas ingin kau datang di hari bersejarah ini dalam keluarga kita,” Ajaknya, seakan tak tahu luka yang mengaung di hati. Dengan terpaksa dan rasa kasihan pada mereka yang jauh-jauh datang dari Lenteng aku pun mengiyakannya. “Aku juga ingin melihat Samiyah untuk yang terakhir kalinya. Sebab setelah ini, mungkin aku tidak tahu harus di bawah kemana cinta yang terkhianati ini,” pikirku dalam bimbang.
Selama ini aku selalu mengakui, mas Attar lebih tinggi dan perkasa dariku. Karena ia mewarisi gen ayah yang memang mempunyai postur tinggi. Sedang aku lebih mirip pada ibuku yang dari Madura. Bahkan tak jarang kudengar dari orang-orang dan temen-temen dekatku.
“ Meski Hamdiansyah dan Attar se ayah dan se ibu. Namun, mereka jauh bagai langit dan lubang sumur.” Tetapi, masalahnya bukan itu. Seandainya Samiyah tidak berjanji akan selalu setia menantiku sampai lulus dari pondok, aku tidak masalah dia menikah dengan siapa pun.
***
Ketika tamu mulai berdatangan, aku hanya mendengarkan bunyi sound itu dari dalam kamarku. Saat ijab qobul akan di ucapkan pun aku tetap tidak ingin keluar kamar. Sejak tadi pagi ummi menyuruhku segera bermandi dan segera menemui mas saat mengucapkan Ijab qobul nanti, karena mas dan calon mbak yang kucintai akan segera dirokat. Bapak juga sudah beberapa kali mengetuk pintu. Dikiranya aku sedang tertidur di dalam.
Hari itu aku keluar kamar dan menyaksikan ijab qobul Mas dan Samiyah setengah hati. Tetapi, aku tak menemukan senyum mekar dari bibir Samiyah yang dulu kusenangi itu, sebagai lambang kebahagiaan layaknya para pengantin anyar yang baru akan diakad. Ia lebih banyak menunduk ketimbang menyaksikan para tamu yang datang bagai barisan semut.
***
Samiyah memang selalu menjadi anak tauladan sejak kelas satu MI dulu. Bahkan tidak hanya itu. Ia berwajah manis dan selalu sopan pada setiap lawan bicaranya. Selama pacaran pun ia hanya mau diajak pertemuan bila ada temannya. Aku tidak pernah menyentuh Samiyah seujung kuku pun. Bahkan baju yang ia kenakan pun aku tidak pernah menyentuhnya. Aku hanya selalu memandangnya selama mungkin hingga hatiku mampu menangkap rona malu di pipinya yang kemerah-merahan. Dan itulah yang membuatku tidak yakin ia akan hidup bahagia bersama Mas Attar. Aku tahu hatinya telah penuh bunga kamboja yang berjajar sepanjang gunung Payudan tempat kami sering pertemuan dulu.
Janur kuning masih melingkar di halaman rumahku. Pesta pernikahan sudah dua hari berlalu. Namun tamu-tamu yang mau mengucapkan selamat masih berdatangan, terutama famili-famili ibu dari Lenteng Deje yang tidak sempat hadir saat hari pernikahan kemarin. Aku semakin tidak kuat menahan air mata untuk tidak jatuh melihat kebahagiaan mas Attar dengan Samiyah. Aku tidak mau berlama-lama di rumah. Ruangan yang luas ini seakan menyesakkan dadaku.
Aku segera pamit sama Aba dan Ummi untuk segera kembali ke pondok. Mereka mengiraku terburu-buru karena ada kegiatan mendadak di pondok. Tapi aku menangkap dengan jelas, Samiyah mengerti kenapa aku ingin segera kembali ke pondok. Ia, hanya dia yang mengerti. Tapi, selama dua hari di rumah ia tidak mau menatap wajahku. Ia seakan tak mengenaliku lagi. Aku berusaha mencuri-curi pandang saat makan pagi bersama. Namun ia selalu berusaha merahasiakan wajahnya dariku. Benarkah, hatinya telah tertutup dari wujudku? Dan telah terganti nama mas Attar? Dari mana aku akan tahu semua ini, sedang orang yang dulu jadi Mak Jomblang juga menutup mulut tak tahu apa-apa katanya.
***
Tanganku gemetar saat Yudisium kenaikan kelas dibacakan. Aku tidak mendengar namaku disebut di antara nama yang lulus dengan predikat Imtiyaz. Aku mengira aku sudah tidak akan lulus. Namun, setengah jam setelah itu, akhirnya namaku disebut juga setelah detak jantungku semakin keras karena penasaran sedari tadi pagi menunggu giliran disebut.
Walau namaku masuk daftar golongan orang-orang yang lulus. Namun berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Kali ini namaku terpampang bersama mereka yang berpredikat dha’if. Aku juga tidak terlalu kecewa. Karena sekarang apa arti sebuah nilai bagus dan peringkat satu bagiku, dibandingkan rasa kehilaingan dirinya di hatiku. Dulu aku selalu berusaha menjadi yang terbaik. Sebab sehabis ujian akan ada telfon darinya tentang bagaimana nilaiku.
Sejak kembali ke pondok tidak hanya prestasiku yang menurun tapi juga berat badanku. Beberapa pekan ini, aku sering kali masuk keluar rumah sakit pondok yang dihususkan untuk santri. Setelah memutuskan untuk tidak makan dan tidak berolahraga, aku sering sakit-sakitan. Sudah berapa kali Abi dan Ummi datang ke pondok karena mendapat telfon dari Rumah sakit pondok agar aku di rawat di rumah untuk beberapa hari saja, sampai kesehatanku membaik. Tapi, aku selalu menolak. Setiap kali ummi memaksa setiap kali itu pula aku menolak. Aku tahu kekhawatiran di benak mereka. Tapi bagiku lebih baik sakit dari pada harus tinggal seatap dengan Mbak yang kucintai itu.
Ini yang membuatku heran. Jumat 29 Agustus aku pulang bukan karena liburan atau penyakitku kambuh. Melainkan permintaan Ummi  yang ingin aku pulang bukan pada waktunya. Aneh, setahuku ummi tidak pernah merestui aku pulang selama aku mondok tanpa ada alasan. Kali ini Ummi memintaku segera pulang. Mungkin saja mereka rindu aku pulang. Sebab sejak setelah pernikahan dulu aku tidak pernah pulang ke rumah. Aku lebih senang menghabiskan waktu liburan pertengahan dan akhir tahun di rumah teman atau menyendiri di pondok.
***
Sesampai di rumah aku bersalaman mencium tangan abi dan ummi sebagai tanda ta'dzim menjadi seorang santri. Aku sudah melihat banyak perubahan setelah kurang lebih dua tahun setengah tidak pulang. Pohon-pohon jeruk yang mengelilingi pagar rumah dulu, kini tinggal satu yang masih bertahan. Kedua adikku Husnul dan Wardani sudah bertambah besar dan kelihatan semakin cantik. Mereka  bergantian memelukku seperti seabad tak bertemu. Namun, aku tidak melihat mas Attar dan Samiyah di barisan keluarga yang menyambutku. Tiada tanya dan jawab diantara kami. Seolah-olah kami terbiasa dengan keadaan yang sebenarnya dalam hatiku tidak biasa.
Aku masuk ke kamar dengan ribuan pertanyaan yang berhamburan di kepalaku. Aku hanya dapat mengira-ngira untuk sekedar meyakinkan persaanku bahwa tidak terjadi apa-apa di antara kami. Mungkin mereka lagi pergi berbelanja ke pasar Anom atau sedang menyiram tembakau di sawah yang diberi mertua Mas Attar tahun lalu. Begitulah kemungkinan-kemungkinan lain terus bermunculan di benakku
Aku semakin merasa bingung bila seharian berada di rumah. Dan tetap tidak ada sesuatu apa pun yang dapat memberi tahuku apa yang terjadi dengan keluarga ini. Lebih baik aku pamit saja dan segera kembali ke pondok sebelum kisah cintaku yang patah kembali mengusik ketenangan jiwa yang selalu merindukan dirinya.
Ketika aku mau pamit untuk segera kembali, Abi dan Ummi tetap bersikap dingin padaku. Entah bagai mana caranya aku memancing mereka agar tidak usah hawatir apa lagi merasa takut untuk menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi. Di mata Abi dan ummi aku menangkap isyarat ada sesuatu yang ingin disampaikan. Tapi, mereka saling menjaga sikap dan seolah-olah takut melukai perasaanku.
“ Kau ingin benar-benar mau berangkat hari ini?” Tanya ummi seolah tidak percaya dengan apa yang di lihatnya.
“ Iya Mi,” jawabku meyakinkan Ummi.
Aku kembali mencium tangan Ummi. Ia mengusap-ngusap rambutku. Aku merasakan sentuhan lembut yang sudah dua tahun ini tidak kurasakan. Entah, dari mana datangnya? Aku juga tidak tahu. Tiba-tiba aku meresa berdosa telah membiarkan dirinya rindu akan kepulanganku. Perasaan cemburu dan dendam yang berlebihan telah membutakan hatiku—bahwa masih banyak orang-orang disampingku yang merindukan dan masih peduli terhadapku.
Aku memang merasa terlukai dan kehilangan. Tapi apakah berhak membenci semua orang di sini yang memang tidak tahu kalau Samiyah adalah pacarku sejak MTs dulu? Dan betapa gelisahnya jiwaku yang tahu syariat tetapi melanggar syari’at itu sendiri. Sebagai santri seharusnya aku malu pada Mas Attar yang hanya lulusan SMA dan biasanya tidak banyak mengetahui tentang agama.  
Namun perasaan itu kembali sirna saat aku kembali mengingat-ingat kenangan bersama Samiyah. Aku belum bisa berbuat adil saat posisiku dalam keterpurukan, meski harus pada masku sendiri. Karena, jujur meski aku tahu ini salah dan mungkin sangat tidak terpuji sekali sebagai seorang adik, aku masih mencintainya dan berharap bisa melingkarkan cincin di jarinya, entah kapan itu.?
***
Ini adalah tahun terakhirku hidup di pesantren. Aku benar-benar telah jauh dari mereka. Program niha’ie benar-benar membutuhkan tenaga ekstra. Di samping masuk kelas, aku hanya libur satu atau dua hari saja dari kegiatan lainnya. Waktuku lebih banyak dihabiskan pengarahan, workshop, atau pengarahan untuk menjadi seorang mundzirul qaum, bagi masyarakat nantinya. Tidak mudah menjadi santri kelas akhir. Waktu kelas lima jumlah teman-temanku masih sekitar seratus tiga puluh tujuh dan sekarang tersisa seratus dua puluh tiga. Mereka banyak yang berguguran sebelum sampai garis finish. Begitulah seleksi alam yang kami yakini di pondok. Di antara kami tidak tahu siapa yang akan lulus dan siapa yang akan gugur.
Panitia niha’ie meminta semua santri kelas enam mengumpulkan paper paling lambat hari jumat tanggal 29 agustus. Kini sudah tanggal 20. Aku hanya punya waktu 9 hari untuk bisa menyelesaikan tugas terberat di kelas akhir ini. Aku tidak mau seperti kakak kelasku tahun-tahun sebelumnya. Di antara mereka ada yang tidak lulus karena tidak bisa menyelesaikan tugas ini. Aku mulai sibuk dengan tugas-tugas baruku yang harus kuikuti agar bisa lulus nanti.
Aku merasa lebih tenang dengan kesibukanku ini. Karena sekeras apapun batu akan tetap berlubang oleh tetesan air yang terus menerus. Begiutulah alam mengajari manusia agar tidak putus asa dalam menyelesaikan persoalan sesulit apa pun. Sekeras apa pun hatiku aku hanyalah manusia. Maka lapanglah kiranya dendam ini setelah menyadari aku hanya tertipu rayuan syetan agar aku bermusuhan dengan kakak kandungku sendiri. Lagi pula mas juga tidak tahu menahu tentang kisah kasihku di sekolah dulu. Aku tidak mau menjadi Qobil yang tega membunuh saudaranya hanya karena wanita. Aku akan minta maaf sama mas Attar dan akan menyerahkan Samiyah dengan tulus, setulus kuberikan cintaku padanya dulu.
***
Sebentar lagi santri-santri yang lain akan memanggilku ustad. Bertahun-tahun aku menyelami lautan ilmu penuh uji dan coba. Akhirnya titel ustad pun sebentar lagi akan kudapat. Namun, sampai hari wisuda pun aku tidak melihat Mas Attar dan Samiyah. Abi dan ummi hanya datang bersama kedua adikku. Begitu sibukkah mereka hatta hari wisudaku saja tidak datang?
Dulu aku tidak peduli luka yang menggores hati. Aku hadir menyaksikan ijab kobul mereka dengan linangan air mata. Lantas inikah balasan mereka setelah berhasil mencabik-cabik hatiku bertahun-tahun lamanya. Bukankah seharusnya mereka menyaksikan aku bahagia setelah kebahagiaan mereka rebut dariku. Maka saat itulah aku tahu dendamku benar-benar tidak terhapus. Persaan itu mulai kembali memenuhi rongga dadaku yang tadinya kupikir akan sembuh dari luka. Saat teringat mereka tidak datang. Aku tidak kuat lagi menyimpan amarahku. Maka saat itu juga aku pamit ingin pergi ke Kudus dengan dalih akan melanjutkan hafalan Quranku.
Bukan wajah senang yang tampak dari wajah Ummi saat mendengar keinginanku itu, melainkan ia sedih dan menangis hingga meneteskan air mata. “Ini pertama dan terakhir aku membuat sedih Ummi” rintihku dalam hati
“Kenapa kau benar-benar tidak ingin pulang kerumah nak?” pertanyaan itu benar-benar menyayat hatiku. Aku tidak pernah menyangkah sedalam itukah sedih kutanam tanpa kusadari di hati Ummi.
“Ummi, selagi Samiyah masih di rumah aku tidak akan pulang dan mungkin akan terus pergi sesuka hatiku” Aku tidak menyadari apa yang keluar dari mulutku. Namun, justru itulah aku bisa berterus terang tentang hubunganku dengan Samiyah sebelum menjadi istri Mas Attar. Aku tidak hanya sedih melihat air mata semakin deras mengalir di pipi ummi yang sudah tampak tua. Aku benar-benar menyesal memberi tahu apa yang bertahun-tahun berhasil kusembunyikan dari keluargaku. Dan tak pernah kusangka-sangka apa yang terjadi di rumah setelah kepergianku dulu. Tertanya Ummi sudah tahu tentang semua ini.
“Adakah Samiyah yang memberi tahu semua ini Ummi?” tanyaku dengan berurai air mata.
“Justru itulah, kenapa Ummi selalu menangis dan terus memperhatikanmu selama kau sakit-sakitan di pesantren. Ummi takut kau akan nekad dan berbuat hal-hal yang tidak pernah agama dan ummi inginkan. Setiap kali Ummi menyaksikan berita tentang seorang pemuda yang bunuh diri karena ditinggal mati pacarnya Ummi teringat akan dirimu yang tersiksa atas pernikahan kakakmu. Dan kematian Samiyah pun Ummi rahasiakan darimu. Sudah setahun yang lalu Samiyah meninggal membawa penyakit yang berbulan-bulan dideritanya. Ia selalu berusaha menyembunyikan kerinduannya padamu. Hingga suatu hari ia jatuh sakit dan selalu menyebut-nyebut namamu. Bahkan, saat menutup matanya untuk yang terakhir kalinya, ia membisikkan namamu. Ummi memintamu pulang waktu itu. Namun, sebelum kau sampai di rumah malaikat maut telah lebih dulu merenggut nyawanya. Kau tidak berhak menaruh persaan benci padanya. Ia tidak bahagia selama hidup dengan Mas mu. Ia tidak pernah berkhianat. Sebab saat Abimu melamarnya, ia mengira kaulah yang akan ditunangkan dengan dirinya. Ia pandai menjaga perasaan orang lain. Karena itulah ia tidak berani memberi tahukan kisah cintanya denganmu pada masmu yang juga mencintai dirinya. Dan mungkin Ummi hanya akan mendengarkan rintihannya saja dan tidak akan pernah tahu yang sebenarnya, kalau saja ummi tidak menemukan buku hariannya yang ia tulis sejak kepergian Mas mu ke Malaysia.”
Aku tidak dapat mendengar apa-apa lagi setelah panjang lebar ummi menjelaskan keadaan yang benar aku tidak ketahui. Sungguh pun begitu penyesalan begitu dalam memukul hatiku. Hingga aku tak tahu lagi pada siapa aku harus meminta maaf.?



Catatan dan istilah orang madura.
Mundzirul qaum: bahasa arab artinya: (penegur atau peminpin ummat)
Imitiyaz: bahasa arab. Artinya: (istimewah)
Dha’if: bahasa arab. Artinya:(lemah)
Anyar: bahasa Madura. Artinya:(baru)
Rokat: mandi tolak balak
Paper: semacam skripsi yang wajib di kerjakan oleh santri kelas akhir TMI Al-AMIEN  
Prenduan
Niha’ie: sebutan bagi santri kelas akhir TMI AL-AMIEN Prenduan

Prenduan 13 Sebtember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar