Cerpen Abdul Hakim Day
Ia menatap seekor angsa yang mengibas-ngibaskan sayapnya di atas air telaga tempatnya mencuci. Sambil membilas pakaiannya, pikirannya kembali teringat pada lelaki misterius yang selalu membuat pertanyaan-pertanyaan berhamburan di kepalanya.
Tidak tahu dari mana asalnya. Tiba-tiba sejak lima hari yang lalu lelaki itu duduk di jembatan tempat setiap kali Nasia menyebrang kala hendak mandi atau mencuci pakainnya. Yang membuat bulu kuduknya berdiri adalah tatapannya yang mungkin lebih tajam dari pisau pemotong ikan di dapurnya. Setiap hari Nasia menyebrangi jembatan itu setiap kali itu pula lelaki itu selalu menatapnya bulat-bulat seperti hendak menelan tubuhnya yang langsing seperti Artis Britney Spears itu.
Tatapan itu selalu terbayang di benaknya saat Nasia mengendorkan otot-ototnya setelah datang dari danau, untuk istirahat sejenak. Bahkan, saat makan pun ia tetap tidak bisa melupakan tatapan itu barang sedikit pun. Sepertinya ia mengenalnya. Tapi, di mana? Tempat pertemuannya pun ia lupa.
Ingin ia mengenalnya seperti angsa mengenal telaga tempat pemandiannya. Tetapi, tatapan itu terlampau menakutkan naluri keperempuanannya. Terlintas di benaknya: ia sedang berjalan menyebrangi jembatan itu. Tiba-tiba lelaki yang duduk tadi mengikutinya dan mengintipnya saat ia mandi. Kemudian.… ah, Astaga! Ia tidak dapat meneruskan apa yang ia bayangkan.
Meski lalaki itu tidak berbuat apa pun. Namun, Nasia tidak bisa untuk tidak takut padanya. “Tidak mungkin ia memandang tanpa maksud” pikirnya pada diri sendiri. Maka sejak itu ia jarang melewati jembatan. Tiga atau empat hari sekali ia mengambil air minum. Bahkan, selama satu minggu pun ia tidak pernah melewati jembatan itu.
***
Nasia bangun dengan nafas yang masih tersenggal-senggal. Perasaan takut telah membawanya ke alam mimpi. Keringat dingin membasahi keningnya. Ia baru saja melihat lelaki itu lagi dalam mimpinya. Lelaki itu berteiak-teriak dan kadang menangis, tertawa dan kadang juga memanggil-manggil nama yang rasanya, juga pernah ia dengar. Tapi ia juga lupa di mana ia pernah mendengar nama itu. Sambil melangkah ke dapur untuk mengambil air minum ia kembali mengingat-mengingat di mana ia pernah mendengar nama Hosma. Mungkinkah saat melihat sinetron? Rasanya tidak. Sebab sejak beberapa bulan yang lalu tak ada tetangganya yang mau di tumpangi untuk mengalirkan listrik ke rumahnya. Atau..! saat mendengarkan siaran berita di radio? Juga tidak. Karena tanpa tahu sebabnya pemilik warung depan rumahnya sejak beberapa bulan yang lalu juga tidak mau ngasih pinjaman radio. Jangankan radio. Mau beli-beli saja terkadang ditolak.
Dua jam berlalu ia menepis kemungkinan-kemungkinan yang sedari tadi bermunculan di keningnya. Jarum jam sudah menunjuk angka 2. 00. Ia kembali mengelus dada. Usahanya untuk mengingat nama yang dipanggil wanita murahan,sundal,penghianat dalam mimpinya tadi, sia-sia belaka. Ia tak kunjung ingat juga sampai akhirnya kepalanya terasa pening seperti dipukuli berkali-kali. Dan cahaya lampu teplek hilang di atas ubun-ubunnya. Ia kembali pulas dengan mimpinya.
***
Saat pagi menyambut matahri ia baru menyadari persedian air di gentongnya sudah habis. Di dapur air juga hanya ada pada bagian bawah gentongnya saja. Kemana lagi air hendak dicari. Bila mengingat telaga ia kembali teringat jembatan yang membuat bulu kuduknya berdiri. Kalau harus menunggu sampai lelaki itu pergi dari jembatan, rasanya tidak mungkin ia bertahan dengan lapar yang dari tadi malam melilitnya.
Dan saat matahari mulai beranjak tinggi meninggalkan Nasia yang masih gelisah di kamarnya, cacing di perutnya semakin ramai bersahut-sahutan seperti marah pada Nasia karena tak satu butir pun nasi mereka terima.
Sebenarnya ia lebih takut menyebrangi jembatan itu, dari pada lapar yang melilitnya. Sebab sudah pasti ia tidak akan nyenyak tidur malam harinya, karena tatapan asing itu. Namun akhirnya kegerahan mendekti kakinya melangkah ke dapur untuk mengambil ember dan segera pergi ke telaga.
***
Semenjak kepergiannya hari itu Nasia selalu termenung. Ia tidak bisa membayangkan seandainya tidak ada orang yang memandikan sapinya di telaga waktu itu. Mungkin saja, ia sudah tinggal di ruang bawa tanah atau sedang terbaring di atas ranjang. Lelaki itu mencoba mencekeknya dan mengata-ngatainya perempuan sundal, penghianat, dan banyak lagi sumpah serapah lainnya berhamburan dari mulutnya.
Kini ketakutan semakin mencekam hatinya, bahkan sampai mengingau setiap kali ia tidur. “Tidak, aku bukan wanita Murahan, kau jangan bunuh aku. Aku tidak tahu apa-apa” begitulah kalimat yang sering kali terlontar dari mulut Nasia kala ia tidur. Dan karena ketakutan itu, Nasia jatuh sakit. Ia terbaring lemah di atas ranjang. Dalam fikirannya bayangan lelaki itu selalu muncul dan mengejar-ngejar dirinya.
***
Semenjak itu tetangganya jarang melihat Nasia keluar rumah, apalagi pergi ke telaga. Ada yang sebagian iba, membawakan Nasia roti dan biskuit, namun ada yang juga masih menyimpan perasaan acuh tak acuh, terutama ibu-ibu yang pernah cemburu karena suaminya sering kali memuji-muji dagunya yang seperti mangga Madura atau badannya yang seperti gitar India.
Nasia memandang setiap yang datang penuh rasa heran. Ia bertanya-tanya tentang lelaki itu. Namun, tak satu pun di antara tetangga yang datang menjawab keberadaan lelaki itu sekarang. Malah, ada yang mengatakan tidak tahu sama sekali. Jawaban-jawaban itu semakin membuat kepalanya pening dan semakin bingung saja. Tetapi, dalam benaknya hanya muncul harapan “Kapan lelaki itu akan pergi dari jembatan?” Kapan, kapan dan kapan. Begitulah pertanyaan-pertanyaan terus berhamburan di benaknya.
***
Ketika Nasia mulai sembuh dari sakitnya, ia lebih sering menatap benda-benda yang mengisi kamar dan lemarinya. Hanya dengan memandang benda-benda itu ia dapat melupakan kejadian-kejadian yang sudah menimpanya. Sejak libur dari aktifitas mencuci di telaga, hari dirasanya begitu sepi. Ada kerinduan pelan-pelan menyeruak dan memenuhi rongga hatinya. Namun rindu yang tidak jelas. Ia merasa sedih, terlebih bila mengingat angsa yang diam-diam tanpa disadarinya telah satu bulan tak pernah dilihatnya. “Semuanya gara-gara lelaki itu” pikirnya pada diri sendiri.
Untuk memastikan lelaki itu sudah benar-benar pergi, setiap kali ada orang lewat depan rumahnya Nasia selalu menanyakannya. Setiap orang yang ditanyai tentang lelaki itu kadang tersenyum dan kadang tidak menjawab apa-apa. Harapan tinggallah harapan. Karena tidak satu orang pun mulai ujung barat sampai ujung timur Kampung Arab yang mengetahui tentang keberadaan lelaki yang dianggapnya misterius itu. Ia terus bertanya tanpa kenal lelah, tanpa keluh dan bosan. Mungkin ia akan terus bertanya pada waktu dan zaman selagi ia masih bisa bertanya. Hingga akhirnya pada suatu sore ia menyaksikan warga Kampung Arab berduyun-duyun mendatangi jembatan itu
***
Lelaki yang selama ini diharapkannya pergi dari jembatan akhirnya dijemput ambulance. Ia mengetahui lelaki itu adalah tahanan rumah sakit jiwa yang membunuh bocah SD sepulang sekolah di kampung sebelah dua hari yang lalu. Ia juga tahu bahwa: lelaki itu akan dipenjara akibat perbuatannya. Namun, ia tidak pernah tahu kalau lelaki itu adalah suaminya yang gila akibat perselingkuhannya dengan suami tetangganya.
Nasia juga tidak pernah tahu kalau dirinya amnesia akibat jatuh dari motor pacarnya saat kabur dari rumah suaminya. Dan sejak itu mulut-mulut usil yang tidak menyukainya memangil Nasia. (Orang yang lupa)
Kampung Arab Sumenep, 28 oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar